Apakah Seseorang Disiksa karena Diratapi ketika Meninggal Dunia?
Dari sahabat Ibnu ‘Umar, dari ayahnya (‘Umar bin Khattab) radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
“Mayat akan disiksa di dalam kuburnya disebabkan ratapan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 1292 dan Muslim no. 17, 927)
Juga diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang meratapi mayit, maka mayit tersebut akan disiksa pada hari kiamat karena ratapan itu.” (HR. Bukhari 1201 dan Muslim no. 933)
Apakah seseorang mendapatkan hukuman karena perbuatan orang lain?
Hadis di atas membingungkan para ulama karena seseorang mendapatkan hukuman (azab) disebabkan karena perbuatan orang lain. Sedangkan Allah Ta’ala mengatakan,
وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al-An’am: 164)
Terdapat berbagai macam penjelasan dari para ulama untuk keluar dari kebingungan tersebut. Sebagian mereka mengingkari hadis tersebut dan menganggap bahwa perawi telah salah dalam mengutip atau meriwayatkan hadis. Mereka menganggap bahwa teks hadis bertentangan dengan ayat Al-Qur’an. Di antaranya yang berpendapat demikian adalah ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, beliau berkata,
ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ قَوْلُ ابْنِ عُمَرَ الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
“Pernah disampaikan (diceritakan) di sisi ‘Aisyah tentang ungkapan Umar bahwa mayit itu akan disiksa lantaran tangisan keluarga atasnya.”
فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعَ شَيْئًا فَلَمْ يَحْفَظْهُ إِنَّمَا مَرَّتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَنَازَةُ يَهُودِيٍّ وَهُمْ يَبْكُونَ عَلَيْهِ فَقَالَ أَنْتُمْ تَبْكُونَ وَإِنَّهُ لَيُعَذَّبُ
Aisyah pun berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman, ia telah mendengar (hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), tetapi ia belum menghapalnya (dengan baik). Peristiwanya begini, suatu ketika lewat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jenazah seorang Yahudi dan ditangisi keluarganya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalian menangisinya, sementara ia benar-benar disiksa.” (HR. Bukhari no. 3978 dan Muslim no. 931, 932. Lafaz hadis di atas adalah milik Muslim)
Sebagian ulama yang lain memalingkan makna hadis di atas dengan takwil yang beragam. Ada yang berpendapat bahwa hadis di atas itu khusus untuk orang yang rida dan berwasiat khusus agar ketika dia meninggal dunia, orang-orang meratapinya. Sehingga perbuatan meratap (an-niyahah) itu disebabkan karena wasiat si mayit sendiri. Hal ini sebagaimana kebiasaan kaum jahiliyah yang berwasiat agar kerabatnya meratapinya ketika mati. Akan tetapi, pendapat ini lemah (dha’if). Karena lafaz hadis di atas bersifat umum dan juga para sahabat radhiyallahu ‘anhum memahami hadis tersebut dengan adanya hukuman (azab) meskipun si mayit tidak berwasiat untuk diratapi. Demikian juga terdapat takwil lainnya. (Lihat Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 290)
Di antara penjelasan yang paling mendekati adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “يُعَذَّبُ” (diazab) adalah si mayit tersebut merasakan sakit, merasa sempit, atau terganggu disebabkan oleh ratapan orang lain kepadanya. Padahal seharusnya orang tersebut mendoakan dan memohonkan ampun untuk si mayit, bukan meratapi. Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menggunakan kata “يعاقب” (dihukum atau mendapatkan hukuman). Sedangkan “azab” itu lebih umum daripada hukuman. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ
“Safar (bepergian) itu adalah potongan dari azab.” (HR. Bukhari no. 1804 dan Muslim no. 1927)
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut safar sebagai azab, padahal bukan maksudnya sebagai hukuman atas sebuah dosa. (Lihat Al-Fataawa, 24: 369 dan Tahdzib Mukhtashar As-Sunan, 4: 293)
Safar disebut sebagai bagian dari “azab”, karena pada saat safar, orang itu menjadi agak kesusahan karena sulit tidur, kelelahan, dan sebagainya.
Adapun perbuatan ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menganggap bahwa Ibnu Umar salah dalam meriwayatkan hadis, hal itu tidaklah bisa diterima. Karena hadis di atas tidak hanya diriwayatkan (diceritakan) oleh Ibnu Umar saja, akan tetapi juga diceritakan oleh ayahnya (Umar bin Khattab) dan Al-Mughirah bin Syu’bah, juga Abu Musa, Hafshah binti Umar, dan Shuhaib radhiyallahu ‘anhum. Hadis di atas tidak boleh ditolak dengan menggunakan perkataan ibunda Aisyah sebagai argumen. Hal ini karena mustahil semua sahabat yang disebutkan tersebut itu salah paham (keliru) dalam menceritakan hadis.
Dengan demikian, hadis ini menunjukkan bahwa mayit itu tersakiti atau merasa sempit dengan sebab ratapan orang kepadanya. Oleh karena itu, wajib bagi wali atau kerabat si mayit untuk meninggalkan perbuatan tersebut dan mencegahnya, supaya si mayit tidak tersakiti. Jika memang maksud dari an-niyahah itu adalah ekspresi kesedihan karena kehilangan orang yang dicintai, bagaimana mungkin dia justru melakukan sesuatu yang menimbulkan mudarat untuk si mayit? Ini di antara pertimbangan agar seseorang menjauhi perbuatan tersebut.
Baca juga: Larangan Mencela Orang yang Sudah Meninggal Dunia
Bagaimana si mayit bisa tersakiti karena ratapan?
Adapun bagaimana si mayit bisa tersakiti karena an-niyahah, terdapat beberapa hadis tentang hal tersebut. Dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ فَجَعَلَتْ أُخْتُهُ عَمْرَةُ تَبْكِي وَا جَبَلَاهْ وَا كَذَا وَا كَذَا تُعَدِّدُ عَلَيْهِ فَقَالَ حِينَ أَفَاقَ مَا قُلْتِ شَيْئًا إِلَّا قِيلَ لِي آنْتَ كَذَلِكَ
“Dahulu aku pingsan mendengar kematian Abdullah bin Rawahah. Seketika itu pula saudara perempuannya (saudara perempuan Nu’man, maksudnya) menangis dan mengatakan, ‘Aduuh, telah binasa orang yang mulia.’ Demikian ia katakan secara berulang-ulang. Ketika Nu’man siuman, Nu’man berkata kepada saudara perempuannya, ‘Semua yang kamu katakan tadi ditanyakan kepadaku, Apakah engkau juga seperti itu pula?‘” (HR. Bukhari no. 4267)
Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ بَاكِيهِ، فَيَقُولُ: وَاجَبَلَاهْ وَاسَيِّدَاهْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ، إِلَّا وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ: أَهَكَذَا كُنْتَ؟
“Tidaklah seseorang meninggal, lalu orang-orang berdiri meratapinya dengan berkata, ‘Wa jaballah, wa sayyidah!’ (Aduhai celakanya aku, Aduhai sialnya aku!) dan sejenisnya, niscaya akan dikirim dua orang malaikat untuk memukulinya sambil menghardiknya dengan berkata, ‘Betulkah demikian keadaanmu (di dunia)?‘” (HR. Tirmidzi no. 1003, Ibnu Majah no. 1594, dan Ahmad 32: 488)
Kerusakan yang timbul dari perbuatan an-niyahah
Hadis di atas merupakan dalil terlarangnya perbuatan an-niyahah atas mayit, yaitu dengan meninggikan suara (berteriak histeris) dan menyebutkan kebaikan-kebaikan, memuji-muji, dan menyanjung-nyanjung si mayit. Perbuatan ini termasuk ciri khas kaum jahiliyah. Ada banyak kerusakan yang timbul dari an-niyahah, di antaranya:
Pertama, an-niyahah hanya akan menambah kesusahan dan kesedihan orang yang melakukannya.
Kedua, perbuatan tersebut menunjukkan tidak rida (marah) dengan takdir Allah Ta’ala dan menunjukkan tidak adanya sikap sabar dalam menghadapi musibah kematian. Seolah-orang orang melakukan an-niyahah itu mengatakan, “Seharusnya orang dengan kebaikan seperti ini dan itu tidak layak untuk mati.”
Ketiga, perbuatan tersebut menyakiti si mayit, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis di atas.
Keempat, dengan berbagai macam mafsadat tersebut, an-niyahah tidak bisa mengubah takdir atas apa yang telah terjadi.
Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Ada empat perkara khas jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan); (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) an-niyahah (meratapi mayit).”
Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertobat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)
Hadis ini menunjukkan bahwa an-niyahah termasuk dosa besar (al-kabair) karena terdapat ancaman yang keras terhadap pelaku an-niyahah. Demikian pula perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “jika dia belum bertobat sebelum ajalnya”, terdapat dalil bahwa an-niyahah termasuk dosa besar karena dipersyaratkan untuk bertobat.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat untuk kaum muslimin.
Baca juga: Hukum Meratapi Mayit
***
@Rumah Kasongan, 4 Syawal 1444/ 25 April 2023
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel asli: https://muslim.or.id/84610-apakah-seseorang-disiksa-karena-diratapi-ketika-meninggal-dunia.html